Upaya
diri pribadi manusia yang terbuka hatinya menanggapi “Manunggaling
Gusti Kawula” ini dilakukan secara sendiri-sendiri atau berkelompok
dengan laku glenikan sehingga menghasilkan ngelmu klenik yang disebut
ajaran (piwulang atau kawruh) “Manunggaling Kawula Gusti”, sebagai
berikut :
· Sesungguhnya pengetahuan manusia tentang “dirinya sendiri” masih sangat dangkal daripada “diri sendiri sejati” yang diberikan Sang Pencipta. Atau dengan kata lain Sang Pencipta mengenal diri manusia lebih baik daripada manusia mengenal dirinya sendiri, Tuhan welas asih kepada manusia lebih daripada manusia mengasihi dirinya sendiri.
· Bahwa perbuatan yang selama ini dilakukan kepada Tuhan, sesama dan alam semesta yang menurut manusia sudah baik ternyata masih sebatas ragawi yang kasad mata penuh pamrih dan pilih kasih (mbancindhe mbansiladan) hanya untuk kepentingan manusia (dirinya sendiri). Contoh : Ketika seseorang beribadah kepada Tuhan menganggap yang dilakukan sudah cukup (karena sikap dan perbuatannya tidak berubah), tetap melakukan kekerasan phisik / non phisik, pemarah, dlsb karena dilakukan secara normatif, agamis tanpa hati sejati. Demikian pula ketika perbuatan baik kepada sesama tidak mendapatkan balasan, tanggapan semestinya atau bahkan sama sekali tidak ditanggapi menjadi kecewa, marah, tersinggung, dlsb. Padahal kasih yang diteladankan Tuhan tidak pernah menuntut balas dan pilih kasih : oksigen untuk bernapas manusia, hangatnya matahari, segarnya air hujan diberikan kepada setiap orang secara cuma-cuma tanpa membedakan status, etnis/ warna kulit, agama, dlsb.
· Untuk menggali kesadaran diri hati sejati diperlukan percaya sejati kepada Tuhan. Percaya sejati berarti berserah diri tanpa reserve, melepaskan nafsu ingin memiliki dan kemauan sendiri kepada, kehendak Tuhan, semua yang ada dipersembahkan sebagai alat-Nya memuliakan nama-Nya.
· Niat berserah diri atau pasrah kepada Tuhan hanya dapat diwujudkan dengan laku batin meneng atau diam terpusat di hati : tersenyum, rileks melepaskan semua ketegangan tubuh dan pikiran. Laku meneng mengarahkan hati kepada Tuhan dilakukan secara tekun tanpa target, tanpa pamrih dan tidak memaksakan diri, batin menjadi wening (jernih). Rasa ati wening ini menumbuhkan kesadaran hati sejati bahwa Tuhan sungguh hadir mengasihi dirinya. Buahnya hati sejati menjadi dunung (mengerti) bahwa hidupnya harus menyatu dengan Sang Pencipta. (makna kebatinan).
· Kesadaran Manunggaling Kawula Gusti berarti harus mau meneladani kasih-Nya yang diungkapkan dalam hidup sehari-hari semakin berbelas kasih sejati kepada sesama dan alam semesta ; memaafkan kesalahan, menyesal dan mohon maaf kepada Tuhan dan sesama atas segala kesalahan (yang sering membuat tertekan hatinya), menerima orang lain dan keadaan / peristiwa seperti apa adanya, tidak akan mempengaruhi orang lain dengan paksa, merubah sikap kekerasan menjadi tanpa kekerasan, dari permusuhan menjadi damai, dari hidup dengan berbagai kepalsuan menjadi jujur dan apa adanya, dari sombong, egois dan menonjolkan diri menjadi rendah hati dan peka akan perasaan orang lain, dari serakah menjadi ikhlas untuk berbagi, berbela rasa, melestarikan alam semesta, tidak pernah mengadili orang lain, mengritik, memaksakan kehendak, dlsb. Relasi spiritual Kawula Gusti ini harus bermuara pada sikap hormat atau ngajeni sesamining gesang. Sikap ini membuahkan relasi welas asih sejati dalam persaudaraan.
· Laku batin mutlak harus dilakukan, karena tanpa laku batin terpusat di hati (bukan konsentrasi pikiran yang menegangkan) maka orang hanya mengerti sebatas wacana tetapi tidak menghayati. Tuhan hanya dapat diabdi dengan cinta dalam perbuatan nyata, tidak hanya dipikirkan. Hanya dengan perbuatan belas kasih sejati Tuhan dapat diperoleh, tetapi dengan pikiran tidak mungkin. Sebagai pengandaian, untuk memperoleh prestasi olah raga diperlukan ketekunan latihan, demikian pula untuk dapat menanggapi kasih-Nya diperlukan ketekunan olah batin yang diawali dengan senyum, sikap rileks menghilangkan ketegangan tubuh dan pikiran tanpa memaksakan diri, untuk dapat menyadari kehadiran-Nya.
· Sikap percaya dan berserah diri manunggal dengan Tuhan ini bisa diandaikan sebagai hak dan kewajiban, ketika orang telah memenuhi kewajibannya dengan baik pasti haknya akan diperoleh. Apabila orang sungguh percaya kepada Tuhan, mengarahkan hati sejati kepada-Nya yang diungkapkan dengan perbuatan baik penuh welas asih, maka orang akan dengan tegar dapat menerima setiap keadaan tanpa harus melawan dengan memaksakan kehendak, segala sesuatu yang negatif dari luar dirinya diterima dengan senyum sebagai hiburan, karena percaya bahwa kuasa welas asih & katresnan Dalem Gusti yang berkarya, diiringi ucapan syukur. Tidak ada rasa irihati, , takut, kuatir, tegang, dihantui rasa bersalah, melainkan percaya Tuhan pasti akan mengatur memberikan kesejahteraan sejati bagi hidupnya. Demikian juga ketika berdoa memohon kepada-Nya, yakin segala permohonannya telah dikabulkan. Semua ini membuahkan rasa hati gembira, berani menghadapi kenyataan hidup, dalam segala hal selalu bersyukur (sumringah bingah, menapa menapa wantun, syukur lan beja ingkang langgeng).
· Seseorang yang sudah mampu menjalani hidup menyatu dengan Tuhan atau “Manunggaling Kawula Gusti” berarti sudah menanggapi “Manunggaling Gusti Kawula” dengan baik. Buahnya orang menjadi sehat secara psikis karena selalu berpikir positip dan tenang atau sareh. Secara emosi menjadi lebih sabar, tidak pemarah, tidak akan putus asa, kecewa dan tidak mudah tersinggung karena yakin semua yang negatif dari luar tidak akan mempengaruhi dirinya (nyawang karep). Secara sosial menjadi mudah bergaul dan menerima orang lain dan keadaan seperti apa adanya tanpa menimbulkan emosi negatip. Akhirnya, dengan didukung pola makan yang benar dan gerak badan cukup, semua sikap tersebut menyehatkan raga karena metabolisme tubuh normal tanpa diganggu emosi negatip yang mengakibatkan peredaran darah tidak lancar, detak jantung tidak teratur, tekanan darah naik.
· Meskipun ajaran ini tentang relasi pribadi manusia dengan Tuhan, tetapi memiliki nilai sosial dan kemanusiaan tinggi, karena sikap berserah diri kepada Tuhan selalu diungkapkan dengan perbuatan belas kasih kepada sesama dan alam semesta, dengan hati sejati sebagai nakhodanya. Ajaran ini juga upaya mengakhiri kekerasan, karena sesungguhnya kekerasan yang dilawan dengan kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru. Ajaran “Manunggaling Kawula Gusti” ini sangat pas untuk bekal hidup jaman ini dimana orang hanya dibiasakan menggunakan otak kiri / kognisi yang menarik manusia kepada hitung-hitungan tambah dan kurang, konsumerisme, hedonisme, normatif yang hanya ragawi dan kasad mata tanpa hati sejati. Akibatnya orang ingin cepat memperoleh hasil secara instant mengabaikan proses, untung rugi, yang disadari atau tidak mempengaruhi hidup spiritual keagamaan, persaingan, kalah menang, pembenaran diri, egoisme yang berbuntut konflik dengan kedok agama, suku dan ras, penguasaan sumberdaya alam tanpa ada kemauan melestarikan dan berbagi, kekerasan dlsb yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan sejati yang adil dan beradab… Sembah nuwun, Rahayu, Rahayu, Rahayu…
Posting Komentar